Senin, 31 Oktober 2011

7 Prinsip Dasar Mengasuh Anak

  1. Penerimaan Yang Tulus
Terkadang kita mengungkit permasalahan anak yang menjadikan anak itu merasa minder dengan keadaan dirinya yang serba kekurangan. Janganlah kita mengungkit masalah anak, karena tanpa diungkit pun anak itu sudah merasakan bahwa dirinya sangatlah kurang di mata orang lain. Menerima dengan tulus apapun keadaan anak akan mungkin menjadikan masalah tersebut sebagai motivasi bagi si anak.
Sang pembicara (M. Fauzil Adhim) bercerita bahwa dulunya ia sangat merasakan kekurangan itu. Ia mempunyai bibir yang ndomble (bhs. Jawa), berbadan bongsor, dll. Tapi semua itu akhirnya sirna setelah mengingat penuturan dari ibu yang sangat disayanginya, "Zi, ibu bangga padamu nak. Ibu bangga punya anak yang berbibir ndomble sepertimu nak, itu artinya kamu akan menjadi orator ulung nak, kamu akan mengerti dari orang-orang yang tidak mengerti, dan menjadikan orang yang tidak mengerti itu menjadi mengerti. Kamu akan melompat dari kampung ke kampung, dan dari kota ke kota bahkan bisa sampai dunia ini Zi.",
Dan sekarang kita bisa menyaksikan bahkan membaca karya-karya best seller dari M. Fauzil Adhim, bahkan menyaksikan sepak terjangnya di bidang seminar, motivasi, dll.
  1. Dukungan / Kepedulian Yang Penuh (Sediakan Waktu / Libatkan Diri)
Seorang anak tidaklah cukup mempunyai 1 ibu, tapi ia haruslah mempunyai 3 ibu, apakah sang ayah harus poligami supaya sang anak mempunyai 3 ibu? Oh tidak, tapi yang dimaksud dengan 3 ibu ini adalah ibu kandung, ibu susu, dan ibu guru yang ketiganya dirangkap menjadi satu yaitu ibu kandung yang mempunyai waktu untuk anaknya sejak ia masih bayi dan mempunyai kemampuan untuk mendidik sang anak. Sering kita melihat seorang ibu menjadi bangga karena ia telah menjadi ibu hanya karena ia yang telah mengandungnya, tapi dalam perawatan ia menyerahkan pada pembantunya. Ini adalah perspektif yang keliru, sebab dengan menyerahkannya kepada pembantu ia akan menyerahkan permasalahan akhlaq, pendidikan, dsb. Kepada pembantu itu yang belum tentu akhlaqnya baik, dan berpendidikan tinggi. Ingat, anak akan mengikuti lingkungan yang berada di sekelilingnya.
Begitu juga dengan ibu yang sudah menempuh pendidikan tinggi (misalnya S2). Tapi ia tarlalu banyak waktu untuk mengurusi ini dan itu, ia menyerahkan anaknya pada pembantunya yang belum tentu lulus SD. Ini yang harus kita sadari.
· THE POWER OF STRUCTURE
  1. Harapan / Ekspektasi (Tanamkan Nilai, Visi, Orientasi dan Prinsip Hidup)
Harapan yang diberikan allah kepada kita banyak sekali, hanya 20% yang diluar kehendak kita, itulah yang dinamakan dengan takdir.
Yang harus kita berikan pada seorang anak bukanlah sikap keras yang kita perlihatkan pada mereka, tapi nilai, visi, orientasi dan prinsip hidup. Dengan ini, anak akan mampu mengendalikan diri mereka masing-masing dan mempunyai gambaran hidup seperti apakah mereka di masa yang akan datang.
Sang pembicara bertutur bahwa ia dulu iri melihat anak-anak sebayanya dengan leluasa main bola, dikarenakan ia menderita penyakit jantung yang oleh dokter dilarang untuk melakukan pekerjaan yang melelahkan. Oleh ibunya ia diberi harapan, "Zi, lihat tupai itu, dengan lincahnya melompat dari dahan satu ke dahan yang lainnya. Kamu juga akan bisa seperti itu Zi, tapi dengan ini (sambil menunjuk dahi dan dada), pikiranmu dan hatimu Zi. Dan kamu kelak tidak Cuma bisa berjalan menggunakan kakimu saja Zi, tapi dengan pilot yang siap mengantarmu kemanapun kamu menginginkannya tanpa takut tersesat Zi.".
  1. Aturan Dan Batasan (Disiplin, Konsisten Dan Konsekuen)
Dalam hal ini sangatlah penting aturan dan batasan itu ditegakkan, sebab dengan begitu seorang anak akan terdidik untuk bersikap disiplin, konsisten dan konsekuen terhadap apa-apa yang ia kerjakan. Ini benar-benar perlu kita tegakkan, sebab kita tidak mungkin menjadi satpam baginya di setiap waktu dan tempat anak itu berada. Dengan model prinsip seperti ini, kita tidak hanya bisa menanamkan kedisiplinan anak dalam masa kecilnya selama kita masih hidup, tapi si anak akan terbawa kebiasaan itu hingga kelak ia sudah dewasa. Bahkan ia dapat mencapai sukses di setiap pekerjaannya kelak tanpa harus di kontrol orang lain, sebab ia sudah mempunyai aturan dan batasan bagi dirinya sendiri yang telah kita tanamkan padanya.
· THE POWER OF COMMUNICATION
  1. Komunikasi Bermanfaat (Empatik, Dialogis)
Ada seorang ibu yang mengetahui anaknya main pasir di lantai yang baru dibersihkannya, kemudian ibu mengatakan “jangan main pasir di lantai nak!.”, secara seketika ibu merasa bangga karena perintahnya dituruti. Tapi betapa terkejutnya seorang ibu ketika melihat anaknya bermain pasir di atas kasur, terjadilah percakapan yang seru antara ibu dan anak:
Ibu : “Kamu itu!! Kok malah mainan pasir disini!!.”
Anak : “Aku kan mainan di kasur…ibu tadi kan melarang di lantai…”
Ibu : “Huh!! Kamu ini bagaimana!! Gak boleh di lantai malah di kasur…!!”
Anak : (anak itu menjadi bingung, dia dimarahi karena mentaati perintah ibunya, yaitu tidak mainan pasir di lantai).
Artinya seorang ibu harus bisa berdialog dengan baik dengan anak-anak mereka supaya tidak terjadi kesalah pahaman yang lebih jauh. Dan banyak contoh-contoh yang lain.
Dialog yang baik seharusnya terdapat empatik didalamnya, banyak sebagian orang menjadi korban tidak dihargai orang lain karena ia tidak empatik di dalam berbicara atau berdialog. Contoh kecil, ketika ayah asyik menonton TV tak jarang lebih mengutamakan TV-nya daripada keluhan anaknya sekalipun seorang ayah mendengarkan percakapan anaknya tersebut, tetapi mengapa ayah tidak menunjukkan kepeduliannya untuk menghadapkan wajahnya ke arah anaknya tapi justru ke arah TV.
Kekuatan komunikasi mempunyai pengaruh yang besar dan maha dahsyat jika kita bisa menggunakannya secara baik dan sesuai pada tempatnya.
  1. Pengendalian Diri (Perlakukan Anak Dengan Hormat, tapi Jangan Memanjakan)
Sebagai orang tua seharusnya bisa memperlakukan anaknya dengan baik, coba perhatikan cerita singkat dibawah ini.
Anggap saja keluarganya bapak Hasyim, ia mempunyai seorang istri, 2 anak laki-laki, dan 1 anak perempuan. Usia mereka yang paling tua masih di bawah 11 th. Suatu ketika pak Hasyim sekeluarga mempunyai rencana untuk pergi berlibur ke suatu tempat pariwisata, anggap saja kebun binatang Ragunan. Tetapi sebelum keberangkatan mereka, pak Hasyim memberikan aturan kepada anaknya, aturan itu berisi “Kita akan pergi ke Ragunan jam 12.30 siang. Setelah anak-anak semua habis mandi, sholat, dan makan.”. Dan ketika saatnya tiba, salah satu anak pak Hasyim (anggap saja ia bernama Gholib). Ternyata jangankan sholat, mandi saja belum. Pak Hasyim kemudian menyakatakan kepada anaknya Gholib, “nak, tadi ayah sudah bilang kita akan berangkat ke Ragunan pukul 12.30 siang. Selesai mandi, sholat dan makan, dan ini sudah tiba saatnya, karena kamu tidak memenuhi persyaratan, jadi keputusannya kamu tinggal di rumah saja. Ayah dan adik-adikmu serta ibumu berangkat dulu. Baik-baik di rumah ya…”. Secara hati, pak Hasyim ingin menangis rasanya tapi demi menjaga aturan dan konsisten, dia harus kuat melakukannya.
Itu adalah contoh komunikasi dan pengendalian diri yang baik, andai saja pak Hasyim menunggu anaknya Gholib sampai selesai mandi, sholat dan makan, atau mengurungkan niatnya pergi ke Ragunan, tentu saja membuat kepala Gholib semakin besar dan mengorbankan 2 saudara yang lain.
Pak Hasyim juga telah menghargai anak yang lainnya dan tidak memanjakan Gholib walaupun sebenarnya pak Hasyim ingin mengajak Gholib, dan seorang ibu atau kepala rumah tangga seharusnya memberikan kesempatan pada anaknya untuk belajar dan hidup sedikit payah karena tak jarang anak usia 6 th tapi belum bisa memakai sepatu atau bahkan ada kejadian unik, anak usia 25 th belum bisa makan sendiri, pertanyaannya adalah anak kah yang salah? Atau mungkin ibu yang terlalu memanjakannya? Anda bisa menjawabnya sendiri.
  1. Inspirasi dan Motivasi
Inspirasi atau yang sering kita sebut dengan jalan keluar atau penyelesaian. Tak jarang, banyak anak yang mengalami masalah baik di dalam keluarga mereka, sekolah, atau lainnya. Kebanyakan orang tua tidak memberikan jalan penyelesaian tapi lebih senang dengan mengoceh atau melampiaskan amarahnya jika anak mereka berbuat salah atau salah tingkah karena masalah. Tapi mengapa tidak menelusuri apa sebab-akibat anaknya melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga ia bisa mengambil kesimpulan dari masalah yang dialami oleh anaknya, dengan begitu paling tidak bisa memberikan inspirasi atau jalan keluar kepada yang lebih baik.

sumber : http://sobatmalisha.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar